Pilkada Langsung dan Gerakan-gerakan Anti Revolusi Demokrasi Indonesia.
Oleh Muhammad Zulkipli*
Manifesto Revolusioner mengutip kata-kata pemimpin besar revolusi NKRI Ir. Soekarno yang menyatakan dalam pidata kenegaraannya di Depan Sidang Umum PBB menyatakan “The Fourt is Demokrasi” seharusnya menjadi dasar pelaksanaan Pilkada yang Luber Jurdil di era Rezim Pemerintahan Jokowi JK. Dimana kekuatan rakyat jugalah yang mendorong JOKOWI JK Masuk dalam lingkaran kekuasaan sebagai pemimpin Negara melalui pemilu 2014/2019, dengan JARGON Revolusi Mental.
Situasi dan kondisi Pilkada Langsung dan serentak sbenarnya merunut kepada gerakan revolusi demokrasi di Indonesia, dimana bangsa Indonesia tidak perlu menunggu 100 tahun seperti Negara USA. Saatnya dalam demokrasi Pilkada Langsung serentak ini, kita bangkit dan berdikari menyukseskan Revolusi demokrasi secara fair, taat azas dan aturan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Siapa mereka yang sebenarnya menjadi figure sentral yang saya tuduh sebagai orang-orang Anti Revolusi demokrasi ialah,
a. Partai semu dan kelas menengah ke atas
b. Partai yang tidak pernah rela memunculkan kehadiran calon-calon Independent yang memiliki basis dukngan real, padahal aturan memberikan peluang bagi mereka untuk mendukung calon yang diajukan dan didukung rakyat melalui KTP/KK
c. Penyelenggara Pemilu yang KKN baik itu dalam konteks ekonomi, sosial dan kebijakan
d. Calon calon gadungan yang dimunculkan oknum tertentu yang merusak demokrasi dan cita cita UUD 1945
Sementara, dari kesekian oknum anti demokrasi, maka kategori ini yang kemudian harus dilawan oleh kelompok masyarakat Indonesia yang mendambakan cita cita menciptakan pemimpin bersih dengan jalan demokrasi yang fair dan hasilnya berkualita serta didukung oleh rakyat.
Sementara, sebuah propaganda dilakukan demi menyiapkan pemimpin-pemimpin bayangan yang diback up oleh kaum pengasaha dan kelas atas demi mengamankan kepentingannnya (Pribadi, kelompok, dan keluarganya) dalam titik titik pengasaan vital sebuah kebijakan dan sumber daya alam.
Jadi, saat ini kekuasaan sangat terpola dengan kebutuhan partai partai yang memegang garis kekuasaan demi sebah tujuan yang belum jelas maksudnya. Teori konspirasi dan skandal kepemimpinan atas pelanggengan kekuasaan mengancam keuthan masyarakat yang masih rentang di goyang isu SARA.
Pada saat ini kita diiming iming oleh pseudeo demokrasi, pseudeo kekuasaan yang seolah olah pro pada rakyat, pertanyaannya apakah sudah tercapai pemerataan pembangunan dari jargon Pro Rakyat itu kecuali ujungnya adalah pencitraan untuk mempertahankan kekuasaan. Demi menuntaskan permasalahan buruknya demokrasi ini.
Sehingga rumah pergerakan rakyat memandang perlunya bangsa ini menyiapkan generasi muda yang sadar hak dan kewajibannya sebagai warga Negara, yang tidak lemah dan dilemahkan ideology-ideologi radikal, ekstrimis, dan monoloyalitas kepada pemimpin yang belum jelas kecintaaannya ke NKRI.
Dalam maksud bahwa bangsa akan berupaya membawa rakyat dalam menguatkan pilar-pilar kerakyatan melalui cipta demokrasi yang bersih serta berkualitas. Maka seharusnya kartel kekuasaan tidak diberikan ruang gerak bagi, perusuakan sistemis bagi iklim demokrasi yang menjadi hak konstitusional masyarakat di NKRI. Maka seharsnya partai, masyarakat atau oknum yang mengakuui cinta tanah air/nasional, mestinya malu mengaku ngaku dan menggunakan label nasionalis sebagai azas atau ideology oraganisasi sosial, masyarakat terlebih partainya.
Gridlock Komunitas Kekuasaan
Atau sebuah kemacetan politik, dimana ada scenario kekuasaan dan juga gerakan non kekuasaan menciptakan iklim kesesatan dalam menemukan jalan keluar, menurut yudi latif Maju kena, mundur kena; semua pengemudi kendararaan saling mengunci. Terjadi gridlock dalam tata hubungan kenegaraan, yang menimbul kan kemacetan di semua jalur. Mengatasi gridlockseperti itu mengandaikan kehadiran otoritas yang berdiri tegas, dapat mengupayakan jalur putaran atau pengalihan, yang secara perlahan bisa mengurai kemacetan.
Namun, pengandaian inilah yang tak terpenuhi di negeri ini. Tony Blair berkata, "The art of leadership is saying no, not yes. It is easy to say yes." Di dalam perilaku berlalu lintas kekuasaan yang saling serobot, yang sangat dituntut dari otoritas pemimpin adalah keberanian berkata "tidak". Salah satu prodak gridlock ini adalah kotak kosong, dimana dinamika pilkada menjadi inisiasi pilot project dari cerminan kekuasaan politik local, semisal Pilkada Surabaya 2015, dimana bupati risma tidak menemukan lawannya, akhirnya parameter itu dipakai oleh beberapa oknum menciptakan calon calon boneka. Gridlock ini juga dipakai menghambat laj calon kuat seperti pilkada Gubernur DKI 2017, dimana AHOK dijadikan common enemy, dan dengan ditunggani isu sara dari sebuah viral video menyebabkan AHOK bertekuk jidat berurusan dengan gerakan umat islam, gerakan mafia hukum dan kelompok kekuasaan, karena menganggap jabatan Gubernur DKI akan mengantarkan sesorang menjadi calon presiden layaknya JOKO WIDODO.
Lantas benarkah komonitas kekuasaan sangat berperan, siapa saja mereka???
Mengutip Marcus Ethridge, seorang profesor emeritus Ilmu Politik di University of Wisconsin-Milwaukee, berpendapat dalam analisis 2011 kebijakan yang diterbitkan oleh Institut Cato libertarian bahwa Konstitusi AS dirancang untuk mendorong kemacetan dalam rangka meningkatkan "kemungkinan bahwa kebijakan akan mencerminkan luas, kepentingan terorganisir bukan kepentingan sempit, kelompok terorganisir "[3] Ethridge disajikan versi diperpanjang dari analisis di" Kasus untuk Gridlock: Demokrasi, terorganisir Power, dan Yayasan Hukum Pemerintah Amerika yang berpendapat bahwa "reformis progresif berusaha untuk menggeser kekuatan untuk membentuk kebijakan dari cabang legislatif untuk birokrasi eksekutif" dalam upaya untuk membatasi kekuasaan kepentingan khusus, tapi itu strategi ini menjadi bumerang karena "kemampuan kelompok kepentingan untuk menyusup birokrasi dan mempromosikan kepentingan mereka, sering dengan cara bertentangan dengan niat reformis ' "dan" kapasitas Kongres untuk mengatasi pengaruh kelompok dan menghasilkan perubahan kebijakan. " Dalam rangka untuk mengatasi hal ini, Ethridge menunjukkan "kembali ke 'prinsip konstitusional' dari kemacetan, di mana kepentingan khusus harus bersaing dalam forum legislatif"
Ini berkaca pada peta politik modern di Amerika yang kini sedang di uji coba diindonesia yang notabenenya adalah Negara Kesatuan bukan negera Federal, atau menganut system federalism yang dikenal selama ini dikampanyekan oleh Prof. Amien rais sejak 1998, namun kurang diminati.
Kesimpulan awal dari tulisan ini adalah bagaimana masa depan Indonesia emas 2045, ketika saat ini pondasi demokrasi yang dibangun penuh kepura puraan, angka APBN yang dicrahkan dalam rangka Pilkada Serentak menurut Direktur Jenderal Keuangan Daerah (Dirjen Keuda) Kemendagri Reydonnyzar Moenek mengatakan, total anggaran bagi pelaksanaan pilkada 2017 di 101 daerah yang sebelumnya diperkirakan Rp 2,9 triliun, masih akan berubah. Hal ini menjadi ancaman serius jika angka ini tidak mampu menciptakan demokrasi yang berkualitas.
*Penulis adalah Ketua Pusat
Forum Pengembangan dan Pemerataan Pembangunan Daerah
Koordinator Rumah Pergerakan Rakya
Post a Comment